Sejak kecil hingga dewasa, aku selalu mendapat pakaian bekas kakak laki-lakiku. Bagaimanapun, seorang gadis yang mengenakan pakaian kakaknya yang longgar dan usang, rasanya sangat janggal. Saat pulang sekolah, aku selalu berlengah-lengah jalan di belakang, takut kepergok teman-temanku yang akan mengejek dan menertawakanku.
Kakakku seorang laki-laki cacat, lebih tua lima tahun dariku. Meski aku anak perempuan, aku sangat tekun belajar, setiap ujian aku selalu mendapat peringkat pertama.
Seharusnya, akulah yang pantas disayang ayah. Karena hal ini, aku selalu tidak terima akan sikap ayah terhadapku. Saat tahun baru, lagi-lagi ayah membelikan pakaian baru untuk kakak, sedangkan aku tidak satu pun. Aku tak tahan lagi, melabrak ayah sambil berteriak, "Ayah pilih kasih! Aku benar-benar tidak mengerti. Ia hanya laki-laki cacat, apa bagusnya meski berpakaian bagus sekalipun?" Mendengar itu, bukan main marahnya ayah dan ia menamparku.
Sejak itu, aku makin benci sama keluarga ini. Aku belajar dengan tekun dan berencana hendak meninggalkan keluarga ini setelah lulus ke perguruan tinggi. Abangku hanya sekolah beberapa tahun, setelah itu berhenti dan tinggal di rumah.
Setelah lulus sma, aku diterima di sebuah lembaga ilmu kedokteran. Dua tahun kemudian, aku menjalin asmara dengan seorang pria. Kami berunding untuk membeli rumah di daerah kota. Keluarga pacarku tinggal di desa, keadaan ekonomi mereka juga biasa-biasa saja. Kami telah menyimpan sebagian tabungan, tapi untuk kredit rumah masih kurang. Saat aku ingin meminjam uang kepada ayah, ayah malah berkata "uang tabungan keluarga dibutuhkan kakakmu untuk memperistri nanti." Perkataan ayah itu benar-benar membuatku kecewa.
Akhirnya aku pun menikah disusul dengan kakakku yang menikah dengan salah satu tetangga kami. Ayah mengeluarkan banyak uang untuk pernikahan kakakku dan dengan diselenggarakan dengan cukup mewah.
Setelah menikah, aku jarang pulang ke rumah. Sampai suatu ketika, ayahku berulang tahun yang ke-60, ibu menelponku, tapi aku terus menolak dengan beralasan sibuk dan lainnya. Namun, karena suamiku memaksaku, akhirnya aku pun mengiyakan untuk datang ke acara itu.
Sesampainya disana, aku memberi sedikit uang pada ayah. Namun, ayah berkata, "Kalian juga bukan keluarga berada. Simpan saja uang ini untuk kalian." Aku pun berkata dengan nada datar, "Iya, aku memang tidak memiliki apa-apa dan terus berjuang untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Tidak seperti kakak." Ayah pun menyadari maksud perkataanku dan tidak melanjutkan pembicaraan.
Malamnya, aku tidur bersama ibu. Pada malam itu ibu mengatakan, "gadis manis, lain kali tidak boleh berkata begitu sama ayah." Aku pun menjawab, "Siapa suruh ayah pilih kasih!" Ibu pun berkata kembali, "Sayang tahukah kamu kenapa kaki kakakmu cacat?" Aku menggeleng. "Saat kamu masih anak-anak, suatu ketika ayah membawamu dan kakakmu menumpangi traktor di pekan raya. Namun, traktor itu terbalik di tengah jalan, dengan nalurinya ayah memelukmu dan meloncat keluar. Namun, ketika ayah kembali mencari kakakmu, kakinya sudah tertimpa roda traktor. Kakakmu pun langsung dibawa ke rumah sakit. Nyawanya memang selamat, tapi meninggalkan cacat seumur hidup. Ia merasa sangat bersalah karena tidak melindungi kalian dengan baik sekaligus. Ayah tidak mau menceritakan ini padamu, agar kelak kau tidak memikul beban yang berat"
Air mata pun berlinang membasahi wajahku.
Pesan : Dalam kehidupan kita, banyak sekali hal yang terkadnag kita tidak ketahui. Namun, kita tidak pernah mencoba mencari tahu sumber permasalahan suatu hal dan kita lebih sering langsung menanggapi suatu hal tanpa tahu sebab na terlebih dahulu.
Sesal di kemudian tidaklah berguna. Itulah pepatah yang seringkali kita dengar. Oleh karena itu, pikirkan baik-baik apa yang akan kita lakukan. Apakah akan berguna kelak? Apakah akan menyakiti orang lain atau tidak? Karena menyesal pun tidak bisa merubah segala sesuatu yang telah terjadi
No comments:
Post a Comment